TOILET
#1
Malam aku tidur di
televisi. Mengunyah bibirmu, dadamu, pahamu, Mencernanya dalam usus besar.
Meremukkannya dalam usus halus. Menjadikannya remah remeh kenangan bercampur
gas amoniak. Karena pagi telah menunggu rindu liang tubuhmu.
Tiap malam aku tak nyenyak, maka biarkan aku tidur sesaat di liang tubuhmu. Menikmati saat-saat pangeran kecilku menjadi raja. Berkuasa di ruang tiga kali tiga meter. Sebelum hidup begitu bergegas dan sangat tergesa. Seperti pangeran kecilku yang terus berontak meronta, tak betah.
"Pangeran kecilku
yang asu, hidup memanglah lautan tapi engkau tak perlu ikut menjadi amuk
ombak yang mengoyak celana dalamku, merobek celana dalammu, menoreh
celana dalam kita."
2015
#2
Tiap pagi aku tetap
rindu walau engkau tak menyeduhkan kopi atau teh. Rindu duduk berlama-lama
melamun, hingga tertidur diatas liang tubuhmu. Lubang yang selalu menyediakan
ruang pembuangan atas segala sejarah, kenangan dan kesia-siaan mungkin juga ketergesahan hari-hari
kemarin.
Ketika kupandangi liang
tubuhmu, sempat aku berpikir, ternyata rindu tak hanya biru atau ungu bisa juga
pink seperti warna liang tubuhmu.
"Ah, andai engkau
bisa ku kencani setiap malam, mungkin setiap pagi, aku tak perlu
terburu-buru memburumu, merindumu, mencumbumu, toilet!"