Jumat, 04 Desember 2015

Nanang Suryadi DONGENG PENYAIR, PENYAIR KOK MENDONGENG?

Nanang Suryadi

DONGENG PENYAIR, PENYAIR KOK MENDONGENG?

“tak ada yang istimewa dengan puisiku, selain aku mengungkap rahasia rindu dari palung terdalam hatiku”, ujar penyair itu
tak ada yang perlu mendengarkan aku bicara, karena aku bicara dengan diriku sendiri saja.” bayang-bayangnya menjauh
ia tahu dinding mencuri dengar. seperti juga 2 ekor cicak yang menempel di tempok, menguping, dan cekikikan membicarakannya. dia tahu
ia menulis keluh kesahnya. dan menghapusnya dengan airmata. tinta melumer, mengalir, ke muara rahasianya
ia pergi berkaca. tapi wajah chairil yang dilihatnya. ia menyapa: luka-luka
ia mau pergi ke pesta. tapi lupa celana di taruh dimana. dicari di rak buku. ada joko pinurbo sedang tertawa
ah, mengapa selalu saja ada senja, keluhnya. dan dia menyalakan matahari seterang-terangnya
ia mengemasi buku-buku yang lapuk dimakan lembab dan kutu. sebelum anak-anaknya merengek meminta perahu kertas
“jangan ikuti aku, aku hanya penipu.” dia mencoba menipu agar tak ada yang mau mengikuti langkah kakinya
“ini senja biasa saja, seperti kemarin, mengetuk-ngetuk kepalaku dengan kata-kata. selintasan saja,” katanya, seperti tak berbahagia
ia menepi. memilih kedai paling sunyi. melihat lalu lalang orang bergegas, ia tertawa sendiri. seperti dirinya sendiri
“kasihan kau penyair, sibuk dengan imajimu sendiri.” katanya kepada cermin, selesai mandi
ia membeli yoyo, dari pasar malam. pinggangnya terasa sakit. tapi tawa anak-anaknya terbayang di mata
di pasar banyak orang bertanya padanya. “aku tidak tahu, jangan tanya padaku.” tapi orang-orang menganggapnya serba tahu
“kenapa kamu suka puisi yang aneh-aneh? apakah hidupmu sudah tidak sangat aneh.” dia merasa aneh dengan pertanyaan itu