Ngawurku karena sakarepmu
Ada nisan di hatimu. Cukup sudah engkau bersyair
tentang panji-panji
pengikat keringat orang-orang sawah.
Kupingku sudah lelah mendengar riak simfoni cicit
celurut
di lorong-lorong istana mewah lagi megah.
Dalam kemanjaan para badut meniup balon instrumental
nurani,
kutemukan seekor serigala bersayap merak mengaum,
menelan naskah monolog yang dipentaskan pada
bilik-bilik sunyi.
Aku lebih takjub pada aroma kentut yang bersua dengan
ocehan manusia,
daripada mengangkatmu sebagai raja diraja
pada rajam kematian nyanyian gerobak Pengumpul sampah.
Duh, penghuni istana kertas, retaklah bersama kursi
yang koyak dicakar-cakar kelelawar malam.
Bukan karena imajinasi liar menuntun jemari tanganku
mengukir bait-bait ngawur,
bukan pula karena perut yang mengetuk dinding dompet,
melainkan sakarepmu itu, wahai baginda tong kosong.