Tonganni Mentia
Pedati Senin Pagi
Merdesa*,
bayangan yang kau ukur dengan pedati Senin pagi
digilas
langkah terompah buruh-buruh terburu-buru
menuruni
undak Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, juga Jakarta Kota
Sementara di atas minaret
surya
serupa bulat es krim rasa jeruk meleleh di kacamata harimu
merambati
ketabahan akar rambut tiba di ujung rumput kakimu
tapi
kau masih disana
sebagai
rangka sangga kotak kaca kota
pantang
mengiba karatan kaleng menganga di Jembatan Merah
Antara
Lingkar Dalam, Jagorawi, hingga Perempatan Ciawi
senyum-senyum
layu menemui anak istri
halai
balai memeram pejam
Pula
desak di atas sesak dan pariwara
gerbong
satu lalu delapan
tak
ada lagi ruang manja untuk kemanusiaan
karena
sekali-kalinya, mereka akan kerontang di badai El Nino mata uang
bahkan
untuk sekedar membeli garam
Merdesa,
sejatinya
hidupmu seindah pemandangan desa
melangkahlah
laju jika sampean tak akrab dibuai akrobat lumba-lumba
dan
roller coaster taman impian
Melangkahlah
maju jika kau tak tahu alamat rumah tuan tanah ini,
atau
mungkin kaulah pemilik sah
Melangkahlah
jangan ragu meski kau hanya mampu
mengantarkan
nasi bungkus sisa pesta
mengembara
terowongan di dalam mulut sanak kisanak
Gulunglah candala karena kau memulung
di
atasmu gorilya tak tahu malu mengatasnamakan nasibmu
Merdekalah…
sebab
darimu kami belajar melinting harapan
memburu
guyub dan hidup saban Senin pagi
tanpa
harus kehilangan hati
Merdekalah…
dari
terungku yang mereka bangun sendiri
Bogor,
September 2015
*Merdesa: nama gerobak seorang pemulung
di lintasan Stasiun Gondangdia, Jakarta
*candala: perasaan rendah diri dan hina
*gorilya: maling/ pencuri/ pencoleng